AIR
MATA PERSAHABATAN
Bel istirahat pertama
telah berbunyi, sebagai pertanda aku dan teman - teman sekelasku akan segera
lepas terbebas dari pelajaran yang sangat memeras otak yaitu pelajaran
matematika. Keadaan di dalam kelas menjadi ribut, meskipun guru masih
menerangkan rangkuman materi pelajaran dan memberi tugas PR. Semua anak segera
menutup buku sambil mata melihat ke luar, karena teman-teman lain sudah
kelihatan banyak yang istirahat. “Bagimana anak-anak, apakah kalian sudah
mengerti tentang materi yang ibu berikan ?”Kata bu guru. “Sudah buuuu !” Kata
anak-anak menjawab hampir serempak. Padahal sebenarnya Akupun masih belum
mengerti tentang tugas PR. Teman-teman lainpun banyak juga yang tidak merespon
pertanyaan guru. Kelihatannya teman-temanku ingin segera istirahat dan
menikmati hidangan jajanan yang sudah dijajakan oleh pedagang keliling sejak
tadi pagi. “Silahkan kalian istirahat !” Kata bu guru. “ Horeeee !” Anak-anak
di kelasku menjawab serempak sambil secepatnya ke luar menyerbu para pedagang
yang ada di sekitar sekolah. Bu guru dan guru-guru yang ada di kelas lainpun
segera beristirahat di kantor guru.
Anak-anak
kelas 5 juga baru beristirahat. Mereka kelihatan sangat lelah, mungkin karena
habis pelajaran olah raga yang sangat menguras tenaga. Cuaca hari itu sangat panas. Kami murid kelas 4 ingin segera istirahat ke
luar ruangan, tetapi kelas 5 ingin segera masuk kelas karena mereka tidak kuat dengan
cuaca yang panas sekali.
Ketika
murid-murid sedang menikmati istirahatnya, datang bu guru PAI menghapiri
anak-anak. “ Ayo kumpul dulu ! Siapa yang ikut lomba kosidah ? Kata bu guru.
Aku yang kebetulan waktu itu lagi menikmati jajanan terkejut mendengar seruan
ibu seperti itu. Maklum aku termasuk peserta dari kelas 4 yang ikut group
kosidah yang besok akan diperlombakan. Menurut pikiranku mungkin ibu akan
mengadakan gladi bersih untuk lomba besok.
Dengan
penuh rasa tanggung jawab, aku segera memanggil teman-teman grup kosidah yang
kebetulan ada anggota dari kelas 5 dan kelas 6. Aku mendekati ruang kelas 6
sambil memangil temanku yang ada di kelas 6. “Din, Ci, ayo kita latihan, kata
ibu !”Kataku. “Ayo, Kata kelas 6. Sementara
ibu pergi ke kantor untuk mengambil rebana yang akan dipakai untuk latihan. Aku
berjalan lagi dan berdiri di depan pintu kelas 5 sambil memanggil anggota dari
kelas 5. “Ayo kita latihan, Ris !”Kataku. Semua anggota dari kelas 5 tak
satupun yang menjawab ajakanku. Kelihatan mereka ogah-ogahan,
mungkin lelah karena habis olah raga. “Ayo, nanti ibu marah !” Kataku sambil menakut-nakuti
agar mereka mau berlatih bersama. Padahal aku yakin ibu tidak akan marah,
karena meskipun kelas 5 tidak ada yang ikut masih banyak anak-anak lain yang
mau. “Apa kamu bilang ? Siapa yang akan marah ? Aku gak takut !” Aku capek ! “Kata
Risna sambil bertolak pinggang dan menghampiriku. Aku tertegun. “Mengapa sikap
Risna seperti benci padaku ?” Padahal seharusnya dialah yang harus lebih
bertanggungjawab, karena umur dia di atas umurku.”Aku gak ikut ! ya,
teman-teman ?” Kata Risna sambil menoleh ke teman grup yang ada di kelas 5.
Kelas 5 tak ada yang menjawab pertanyaan Risna. Tak ada seorangpun yang berani
melawan perkataan dan keinginan Risna. Seolah-olah Risna telah menjadi raja
kecil di kelas 5. “Aku kan disuruh ibu “, kataku lirih. “Berani, ya kamu !”
Kata Risna sambil mendorong tubuhku ke dinding kelas. Aku tak menjawab
sedikitpun. Tiba-tiba : “Buk ! buk !” dadaku dipukul. Aku menangis karena
menahan sakit yang sangat luar biasa. Nafasku terasa tersendat-sendat. Sementara
di sekitarku telah banyak anak-anak mengelilingi dan melerai kami. “Silahkan
daftar ! siapa yang berani melawanku ? Ayo daftar satu-satu !” Kata Risna
dengan nada menantang ke teman-taman yang mengerumuniku. Untung aku dilindungi
oleh teman-teman kelas 6, jadi Risna tidak terus-terusan memukulku.
Tiba-tiba
Pak Guru kelas 6 datang menghampiri kerumunan anak-anak. “ Ada apa ini ? Kata
pak guru dengan nada kesal. Aku terdiam, yang tadinya menagis aku memaksakan
diri untuk berhenti meskipun dada terasa masih sakit. Ada di antara teman kelas
6 yang menceriterakan kejadian sebenarnya ke pak guru. Pak gurupun marah sambil
memperingatkan kami bahwa dengan sesama teman jangan saling menyakiti. Akhirnya
aku digandeng oleh pak guru dan dibawa masuk ke kelas.
Setelah
mengantarkanku ke kelas, pak guru masuk ke kelas 5, lalu memberikan wejangan
agar kita jangan semena-mena terhadap orang lain. Apalagi kita anak yang paling
besar, seharusnya mengalah. Perkataan itu sangat terdengar jelas ke kelasku,
karena bersebelahan. Semua anak kelas 4 dan kelas 5 terdiam tak satupun yang
mengeluarkan suara. Dalam keheningan terdengar suara Risna, “Dia pak yang
memaksa aku, padahal aku kan capek habis olah raga !” Pak guru berkata, “Emang tenagamu sebesar apa ? pakai
jotos-jotosan segala ! Kalau benar kamu punya tenaga besar, berani kamu adu
panco sama si Titin ? Kata Pak guru sambil menyebut-nyebut namaku. “Berani, lah
! Ayo asal di sini !”Kata Risna sambil melotot dan memperlihatkan nafsu
amarahnya. Risna sudah tidak tahu lagi tatakrama, tak tahu lagi sopan santun
sekalipun kepada guru.
Pak
guru langsung menuju ke kelasku sambil berkata : “Tin, ayo kita adu panco sama
Risna, kamu buktikan bahwa kamu tidak bersalah.” Kata pak guru sambil berjalan
menujuku dan langsung membawaku ke ruang kelas 5. Sebelum kami bertanding pak
guru berkata, “Ini sebuah olah raga kekuatan otot tangan, kita tidak boleh
mengeluarkan tenaga hanya karena hawa nafsu !” Mengikuti hawa nafsu yang tidak
terkendali maka kita akan merugi !” Kata pak guru sambil tertawa. Anak-anak
yang mengelilingiku juga ikut tertawa sehingga suasana menjadi rilek kembali.
“Nanti setelah terbukti ada yang kalah atau yang menang kamu harus sportif dan
langsung harus berjabat tangan sebagai tanda persahabatan,”kata pak guru sambil
melihat ke Aku dan Risna. “ Ayo, kita mulai pasang lengan kanan masing-masing
!”Kata pak guru. “Satu……, Dua…….., Tiga !”Pak guru mengomando kami sebagai
tanda dimulainya pertandingan. Aku keluarkan seluruh kekuatan tenagaku, begitu
juga dengan Risna. Tetapi tanganku sudah mulai condong berada di atas tangan
Risna. Tak lama kemudian Risna tak kuat lagi menahan tangannya dan akhirnya
tangannya terhimpit oleh tanganku di atas meja. Anak-anak riuh rendah bersorak
karena aku menang dalam pertandingan itu. Sementara Risna mukanya merah menahan
malu sambil matanya berkaca-kaca. Pak guru menyuruh kami agar segera
bersalaman. Kemudian pak guru memberi petuah agar kami bersahabat kembali.
Tetapi apa yang terjadi ? Risna tak kuat lagi menahan amarahnya, langsung saja
mendorong dan menggulingkan meja bekas adu panco tadi. Dia geram , mengamuk,
membenci, kepada seluruh anak yang telah bersorak. Karena seolah-olah dianggap
oleh Risna mereka telah mencemooh dan mempermalukan dirinya di depan umum.
Pak
guru yang waktu itu masih ada di tempat sedang mendamaikan kami, kelihatan merasa
kesal atas tingkah laku Risna. Pak guru membentak Risna sambil memaksa kami
untuk bersalaman. “Ayo Risna salaman !”Kata pak guru bernada keras. Risna tak
berkata, tidak juga menyalamiku, ia hanya termenung dan berdiam diri. Akhirnya aku memberikan tanganku kepada Risna
untuk bersalaman, karena pikirku : “Orang yang meminta maaf lebih berharga
daripada orang yang dimaafkan.” Aku dan Risna bersalaman sambil saling
merangkul. Aku menangis, Risnapun menangis. Kami ingat akan keasalahan yang
telah diperbuat. Kejadian itu disaksikan oleh pak guru dan teman-teman. Kami
berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan jelek seperti itu karena yang
rugi adalah diri kita dan orang lain.
0 comments :
Post a Comment