Tuesday, December 23, 2014



AIR MATA PERSAHABATAN

Bel istirahat pertama telah berbunyi, sebagai pertanda aku dan teman - teman sekelasku akan segera lepas terbebas dari pelajaran yang sangat memeras otak yaitu pelajaran matematika. Keadaan di dalam kelas menjadi ribut, meskipun guru masih menerangkan rangkuman materi pelajaran dan memberi tugas PR. Semua anak segera menutup buku sambil mata melihat ke luar, karena teman-teman lain sudah kelihatan banyak yang istirahat. “Bagimana anak-anak, apakah kalian sudah mengerti tentang materi yang ibu berikan ?”Kata bu guru. “Sudah buuuu !” Kata anak-anak menjawab hampir serempak. Padahal sebenarnya Akupun masih belum mengerti tentang tugas PR. Teman-teman lainpun banyak juga yang tidak merespon pertanyaan guru. Kelihatannya teman-temanku ingin segera istirahat dan menikmati hidangan jajanan yang sudah dijajakan oleh pedagang keliling sejak tadi pagi. “Silahkan kalian istirahat !” Kata bu guru. “ Horeeee !” Anak-anak di kelasku menjawab serempak sambil secepatnya ke luar menyerbu para pedagang yang ada di sekitar sekolah. Bu guru dan guru-guru yang ada di kelas lainpun segera beristirahat di kantor guru.
Anak-anak kelas 5 juga baru beristirahat. Mereka kelihatan sangat lelah, mungkin karena habis pelajaran olah raga yang sangat menguras tenaga.  Cuaca hari itu sangat panas.  Kami murid kelas 4 ingin segera istirahat ke luar ruangan, tetapi kelas 5 ingin segera masuk kelas karena mereka tidak kuat dengan cuaca yang panas sekali.
Ketika murid-murid sedang menikmati istirahatnya, datang bu guru PAI menghapiri anak-anak. “ Ayo kumpul dulu ! Siapa yang ikut lomba kosidah ? Kata bu guru. Aku yang kebetulan waktu itu lagi menikmati jajanan terkejut mendengar seruan ibu seperti itu. Maklum aku termasuk peserta dari kelas 4 yang ikut group kosidah yang besok akan diperlombakan. Menurut pikiranku mungkin ibu akan mengadakan gladi bersih untuk lomba besok.
Dengan penuh rasa tanggung jawab, aku segera memanggil teman-teman grup kosidah yang kebetulan ada anggota dari kelas 5 dan kelas 6. Aku mendekati ruang kelas 6 sambil memangil temanku yang ada di kelas 6. “Din, Ci, ayo kita latihan, kata ibu !”Kataku. “Ayo,  Kata kelas 6. Sementara ibu pergi ke kantor untuk mengambil rebana yang akan dipakai untuk latihan. Aku berjalan lagi dan berdiri di depan pintu kelas 5 sambil memanggil anggota dari kelas 5. “Ayo kita latihan, Ris !”Kataku. Semua anggota dari kelas 5 tak satupun yang menjawab ajakanku. Kelihatan  mereka  ogah-ogahan, mungkin lelah karena habis olah raga. “Ayo, nanti ibu marah !” Kataku sambil menakut-nakuti agar mereka mau berlatih bersama. Padahal aku yakin ibu tidak akan marah, karena meskipun kelas 5 tidak ada yang ikut masih banyak anak-anak lain yang mau. “Apa kamu bilang ? Siapa yang akan marah ? Aku gak takut !” Aku capek ! “Kata Risna sambil bertolak pinggang dan menghampiriku. Aku tertegun. “Mengapa sikap Risna seperti benci padaku ?” Padahal seharusnya dialah yang harus lebih bertanggungjawab, karena umur dia di atas umurku.”Aku gak ikut ! ya, teman-teman ?” Kata Risna sambil menoleh ke teman grup yang ada di kelas 5. Kelas 5 tak ada yang menjawab pertanyaan Risna. Tak ada seorangpun yang berani melawan perkataan dan keinginan Risna. Seolah-olah Risna telah menjadi raja kecil di kelas 5. “Aku kan disuruh ibu “, kataku lirih. “Berani, ya kamu !” Kata Risna sambil mendorong tubuhku ke dinding kelas. Aku tak menjawab sedikitpun. Tiba-tiba : “Buk ! buk !” dadaku dipukul. Aku menangis karena menahan sakit yang sangat luar biasa. Nafasku terasa tersendat-sendat. Sementara di sekitarku telah banyak anak-anak mengelilingi dan melerai kami. “Silahkan daftar ! siapa yang berani melawanku ? Ayo daftar satu-satu !” Kata Risna dengan nada menantang ke teman-taman yang mengerumuniku. Untung aku dilindungi oleh teman-teman kelas 6, jadi Risna tidak terus-terusan memukulku.
Tiba-tiba Pak Guru kelas 6 datang menghampiri kerumunan anak-anak. “ Ada apa ini ? Kata pak guru dengan nada kesal. Aku terdiam, yang tadinya menagis aku memaksakan diri untuk berhenti meskipun dada terasa masih sakit. Ada di antara teman kelas 6 yang menceriterakan kejadian sebenarnya ke pak guru. Pak gurupun marah sambil memperingatkan kami bahwa dengan sesama teman jangan saling menyakiti. Akhirnya aku digandeng oleh pak guru dan dibawa masuk ke kelas.
Setelah mengantarkanku ke kelas, pak guru masuk ke kelas 5, lalu memberikan wejangan agar kita jangan semena-mena terhadap orang lain. Apalagi kita anak yang paling besar, seharusnya mengalah. Perkataan itu sangat terdengar jelas ke kelasku, karena bersebelahan. Semua anak kelas 4 dan kelas 5 terdiam tak satupun yang mengeluarkan suara. Dalam keheningan terdengar suara Risna, “Dia pak yang memaksa aku, padahal aku kan capek habis olah raga !” Pak guru  berkata, “Emang tenagamu sebesar apa ? pakai jotos-jotosan segala ! Kalau benar kamu punya tenaga besar, berani kamu adu panco sama si Titin ? Kata Pak guru sambil menyebut-nyebut namaku. “Berani, lah ! Ayo asal di sini !”Kata Risna sambil melotot dan memperlihatkan nafsu amarahnya. Risna sudah tidak tahu lagi tatakrama, tak tahu lagi sopan santun sekalipun kepada guru.
Pak guru langsung menuju ke kelasku sambil berkata : “Tin, ayo kita adu panco sama Risna, kamu buktikan bahwa kamu tidak bersalah.” Kata pak guru sambil berjalan menujuku dan langsung membawaku ke ruang kelas 5. Sebelum kami bertanding pak guru berkata, “Ini sebuah olah raga kekuatan otot tangan, kita tidak boleh mengeluarkan tenaga hanya karena hawa nafsu !” Mengikuti hawa nafsu yang tidak terkendali maka kita akan merugi !” Kata pak guru sambil tertawa. Anak-anak yang mengelilingiku juga ikut tertawa sehingga suasana menjadi rilek kembali. “Nanti setelah terbukti ada yang kalah atau yang menang kamu harus sportif dan langsung harus berjabat tangan sebagai tanda persahabatan,”kata pak guru sambil melihat ke Aku dan Risna. “ Ayo, kita mulai pasang lengan kanan masing-masing !”Kata pak guru. “Satu……, Dua…….., Tiga !”Pak guru mengomando kami sebagai tanda dimulainya pertandingan. Aku keluarkan seluruh kekuatan tenagaku, begitu juga dengan Risna. Tetapi tanganku sudah mulai condong berada di atas tangan Risna. Tak lama kemudian Risna tak kuat lagi menahan tangannya dan akhirnya tangannya terhimpit oleh tanganku di atas meja. Anak-anak riuh rendah bersorak karena aku menang dalam pertandingan itu. Sementara Risna mukanya merah menahan malu sambil matanya berkaca-kaca. Pak guru menyuruh kami agar segera bersalaman. Kemudian pak guru memberi petuah agar kami bersahabat kembali. Tetapi apa yang terjadi ? Risna tak kuat lagi menahan amarahnya, langsung saja mendorong dan menggulingkan meja bekas adu panco tadi. Dia geram , mengamuk, membenci, kepada seluruh anak yang telah bersorak. Karena seolah-olah dianggap oleh Risna mereka telah mencemooh dan mempermalukan dirinya di depan umum.
Pak guru yang waktu itu masih ada di tempat sedang mendamaikan kami, kelihatan merasa kesal atas tingkah laku Risna. Pak guru membentak Risna sambil memaksa kami untuk bersalaman. “Ayo Risna salaman !”Kata pak guru bernada keras. Risna tak berkata, tidak juga menyalamiku, ia hanya termenung dan berdiam diri.  Akhirnya aku memberikan tanganku kepada Risna untuk bersalaman, karena pikirku : “Orang yang meminta maaf lebih berharga daripada orang yang dimaafkan.” Aku dan Risna bersalaman sambil saling merangkul. Aku menangis, Risnapun menangis. Kami ingat akan keasalahan yang telah diperbuat. Kejadian itu disaksikan oleh pak guru dan teman-teman. Kami berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan jelek seperti itu karena yang rugi adalah diri kita dan orang lain.

0 comments :

Post a Comment